Ustadz Sahlan adalah salah satu Da’i Alumni Ma’had Nurul Haromain, Pujon, Malang. Beliau juga merupakan alumni Pondok Pesantren Langitan Gresik. Saat ini ustadz Sahlan menjadi Guru Tugas Persyada Al Haromain di Sidoarjo, lebih tepatnya di Yayasan Pendidikan Islam Nurul Huda, Sedati, Sidoarjo.
Ustadz Sahlan berasal dari Palembang, Sumatra Selatan. Awalnya ustadz Sahlan tidak pernah berpikir untuk mondok di Jawa. Namun pandangannya tersebut berubah ketika salah seorang guru beliau di Madrasah Diniyah memberi wawasan tentang luasnya samudra pengetahuan.
Guru beliau tersebut, Tuan Guru Nur Rohman merupakan alumni dari Pondok Pesantren Langitan, Tuban. Beliau berpesan bahwa ilmu pengetahuan tidak hanya di Palembang. Ustadz Sahlan pun tertarik untuk merantau ke Jawa.
Akhirnya, pada tahun 2006 beliau mendaftar di Pondok Pesantren Langitan dan diterima di sana. Selama mondok, ustadz Sahlan mencoba untuk menjadi santri yang rajin dan menerima pelajaran dengan baik. Awalnya, ia mengira hanya akan mondok selama dua tahun saja. Namun, ternyata ia ingin melanjutkan studinya di Pondok Pesantren bahkan ingin meneruskan untuk mondok lagi setelah lulus Madrasah Aliyah.
Ketika lulus Aliyah, ustadz Sahlan masih belum terlalu mengenal Pondok Pesantren Nurul Haromain, Pujon. Beliau hanya mengenal Abi Ihya’ sebagai pengasuh pondok tersebut yang juga alumni Pondok Pesantren Langitan, Tuban. Namun, ustadz Sahlan belum pernah bertemu dengan beliau sama sekali. Ustadz Sahlan mendengar informasi pondok Pujon dari ustadz Badri yang juga merupakan santri Ma’had Nurul Haromain dan kini ditugaskan di Kalimantan.
Ustadz Sahlan pun bersama teman beliau, ustadz Hamid mendatangi Ma’had Nurul Haromain dengan sepeda motor. Di Pujon, mereka berdua mendapati pondok pesantren sedang sepi. Kemungkinan waktu itu para santri sedang ada kegiatan dakwah di wilayah binaan. Sehingga, beliau hanya menemui ustadz Mashuda, santri Awail atau santri yang sudah berkeluarga di dalam wilayah pondok pesantren Ma’had Nurul Haromain.
Ustadz Sahlan pun diuji membaca kitab kuning, bahasa arab dan ilmu-ilmu alat lainnya. Ustadz Sahlan berusaha menyelesaikan ujian sebaik mungkin. Tidak sembarang santri yang bisa masuk ke Ma’had Nurul Haromain. Diperlukan santri yang lolos kualifikasi dan siap untuk totalitas berkhidmah untuk menjadi salah satu dari santri-santi Ma’had Nurul Haromain. Kuotanya pun tidak lebih dari 40 santri.
Ustadz Sahlan juga sempat berpikir, apabila ia tidak lolos maka kemungkinan itu adalah waktunya beliau untuk kembali pulang ke Palembang. Namun apabila ia lolos, maka Allah SWT masih memberikan kesempatan pada ustadz Sahlan untuk menuntut ilmu agama kembali di pondok pesantren.
Qodarullah, ustadz Sahlan diterima sebagai santri Ma’had Nurul Haromain, Pujon, Malang. Dari sanalah ustadz Sahlan mengenal Abi Ihya’ lebih dekat. Dari sana juga, ia mengenal Abuya Sayyid Muhammad bin Alawi Al Maliki selaku guru Abi Ihya’ dan perintis Pondok Pesantren Ma’had Nurul Haromain, Pujon. Maka ustadz Sahlan semakin antusias untuk menimba ilmu di Ma’had Nurul Haromain, Pujon.
Ustadz Sahlan berusaha mengikuti pembelajaran dan pergerakan dakwah di pondok. Kedisiplinan dan kebersihan adalah hal utama yang tidak bisa dihindari dari kebiasaan mondok. Ustadz Sahlan juga belajar untuk lebih sering berinteraksi ke masyarakat. Itu karena Ma’had Nurul Haromain mencetak para da’i agar siap berdakwah dan terjun ke masyarakat.
Kegiatan dalam rangka memperkuat kemampuan berdakwah dan terjun ke masyarakat dikemas dalam Amal Bakti Santri (ABS) Kubro bagi semua santri, ABS Tajribiyah untuk para santri baru dan mengurus TPQ serta majelis taklim binaan di sekitar pondok. Alumni Ma’had Nurul Haromain ada yang dikirim ke Papua, Lampung, Kalimantan, Jambi, NTB, NTT dan lain-lain.
Ustadz Sahlan memandang hal tersebut sebagai bagian dari khidmah dan bentuk amal terhadap Ilmu. Mendapatkan ilmu saja tidak cukup, harus dibarengi dengan khidmah (pelayanan) agar tidak sombong dan diamalkan dalam perbuatan sehari-hari. Hal ini sesuai dengan nasihat dari Abi Ihya’, “Salah satu cara menghilangkan sifat sombong adalah dengan berkhidmah (bersedia melayani) kepentingan dan kebutuhan orang lain.”
Ustadz Sahlan juga merasa nyaman ketika ada tugas berdakwah di masyarakat binaan. Ia merasakan banyak pelajaran yang bisa diambil dari masyarakat atau warga sekitar. Salah satu hal yang masih beliau ingat adalah nasihat salah seorang jama’ah beliau yang berusia 50 tahunan. Kakek-kakek tersebut memberikan nasihat tentang pernikahan. Intinya ketika ada ketersinggungan, perdebatan, ketidakcocokan dalam sebuah pernikahan itu adalah hal biasa. Tinggal bagaimana cara kita untuk secara bijak menyelesaikan segala permasalahan bersama.
Setelah mondok selama tiga tahun di Pujon, ustadz Sahlan pun menyempurnakan setengah agamanya dengan wanita yang dipilihkan oleh Abina KH. Muhammad Ihya’ Ulumiddin. Ia pun menikah dan berusaha mengamalkan nasihat yang pernah ia dengarkan.
Setelah menikah ustadz Sahlan khidmah di SMK yang dikelola oleh ustadz Fuad di Prigen. Beliau juga sebisa mungkin berkhidmah pada ilmu. Sampai suatu saat, ustadz Sahlan dipanggil oleh Abi Ihya’ dan diamanahi mendampingi Persyarikatan Dakwah (Persyada) Al Haromain untuk survei lokasi dakwah di Sidoarjo.
Lokasi dakwah tersebut adalah Yayasan Pendidikan Islam Nurul Huda yang sudah berdiri semenjak tahun 1970. Di lokasi tersebut sudah ada Madrasah Ibtida’iyah, Madrasah Tsanawiyah, dan Madrasah Aliyah. Yayasan tersebut memiliki keinginan untuk mendirikan pondok pesantren juga. Qodarullah, pengurus Yayasan memberikan Amanah tersebut kepada Persyada Al Haromain.
Tahun 2018, Ustadz Sahlan pun akhirnya diminta untuk berdakwah di pondok tersebut. Ustadz Sahlan pun memulai dengan mengadakan Majelis Taklim yang terdiri dari wali santri dan masyarakat umum setiap ba’da subuh dan ba’da maghrib. Ia juga mengadakan Dzikir Jama’i.
Dalam berdakwah ustadz Sahlan yakin bahwa segalanya butuh proses, tidak bisa spontan. Ustadz Sahlan menikmati proses tersebut. Semoga beliau diberi kemudahan dan keberkahan dalam berdakwah.
Sumber : Majalah Al Haromain