Ustadz Dhiya’ merupakan salah satu dari puluhan Dai Tugas Persyada Al Haromain. Beliau ditugaskan di Pondok Pesantren Nurul Haromain 58, desa Arjosari, kecamatan Kalipare, Malang Selatan. Daerah tersebut merupakan salah satu daerah terpencil di Malang. Untuk menuju ke sana, harus melewati hutan. Namun semangat dakwah beliau dapat menembus itu semua.

Beliau tak pernah menyangka akan ditugaskan di pelosok daerah. Awal pertama beliau mengenal Ma’had Nurul Haromain justru karena ingin mengetahui sistem peternakan sapi yang dikelola oleh Pondok Pesantren Nurul Haromain Pusat di Pujon, Malang. Qodarullah, beliau malah berjodoh dengan salah Santri Muhajirot, Ma’had Nurul Haromain Pujon, ustadzah Niswatul Khoiroh. Ustadz Dhiya’ pun menikah dan berkhidmah pada Abina K.H. Muhammad Ihya’ Ulumiddin, sebagai guru di SMP plus Fityani dari tahun 2010 sampai dengan 2017.

Beliau merupakan salah satu alumni santri Awail Ma’had Nurul Haromain. Santri Awail adalah santri-santri yang sudah bekeluarga dan masing-masing memiliki tugas sendiri-sendiri, seperti mengajar sekolah, mengurus pondok, berjualan di koperasi pesantren, dan lain-lain. Santri Awail tetap mengikuti taklim namun berbeda dengan Santri Pondok Putra Ma’had Nurul Haromain yang punya lebih banyak waktu untuk mengikuti taklim dan dibina secara ketat oleh Abina.

Sebelumnya, beliau mondok di Pondok Pesantren Al Islah, Bandar Kidul, Kediri. Ustadz Dhiya’udin masuk pondok tersebut mulai setelah lulus SMA. Kemudian melanjutkan mondok di Pondok Pesantren Hidayatul Mubtadi’in Al Ghozali, Tulungagung. Setelah menikah, beliau melanjutkan untuk mengambil beasiswa UIN Maulana Malik Ibrahim di kampus IAIN Kediri.

Tahun 2017, beliau dikirim ke Kalipare, Malang. Waktu itu, aset wakaf yang diamanahkan ke Persyada Al Haromain masih berupa tanah kosong. Dari tanah tersebut ustadz Dhiya’ berkewajiban untuk mengembangkan program-program dakwah.

Ada hal menarik ketika peletakan batu pertama pondok pesantren. Waktu itu Abina KH. Muhammad Ihya’ Ulumiddin dan sekian banyak  jamaah Persyada Al Haromain menghadiri agenda Dzikir Jama’i Nasional di Kediri. Ustadz Dhiya’ pun hadir di sana.

Beliau diperintahkan Abina untuk mencari batu dan dibawa ke sana. Batu-batu yang dibawa Ustadz Dhiya’ tersebut kemudian didoakan oleh Abina. Abina dhawuh agar batu tersebut ditanam di pondasi pondok pesantren beliau. Ustadz Dhiya’ pun kembali ke Kalipare dengan membawa batu-batu tersebut.

Peletakan batu pertama pun dimulai. Beliau dan Warga bahu-membahu menyiapkan pondasi. Ustadz Dhiya’ membaca bismilah dan menaruh batu yang diberikan oleh guru beliau sebagai pondasi. Alhamdulillah, beberapa bulan setelahnya pondok beliau pun jadi dan bisa menjadi tempat untuk belajar membaca Al Qur’an.

Pondok Pesantren Nurul Haromain 58 dikenal juga dengan sebutan Pondok Blandong. Blandong adalah Bahasa setempat yang artinya padasan dari kayu yang biasanya digunakan untuk wudhu. Itu karena pondok tersebut berada di dekat petilasan Blandong, yang dulunya terdapat padasan yang dibuat oleh pendiri desa atau Sing Mbabat Alas.

Di lokasi dakwah beliau memang masih terdapat gerakan misionaris. Bahkan dahulu, SD Katolik merupakan satu-satunya SD di sana. Memang wilayah dakwah ustadz Dhiya’ berada jauh dari jalan raya dan termasuk wilayah terpencil. Sebagian besar pendapatan penduduknya dari pertanian, meskipun ada juga yang bekerja sebagai TNI, TKW, karyawan pabrik, dan lain-lain. Hal tersebut penyebab keterbatasan akses pendidikan dan sebagainya.

Namun, Gerakan tersebut semakin lama semakin berkurang karena ada bapak Muhammad Kholik, alumni UIN Malik Ibrahim Malang yang banyak berkontribusi bagi masyarakat sekitar dan mendirikan SD Islam. Dulu beliau terketuk hatinya saat KKN di Kalipare, sampai akhirnya mengabdi, membuatkan aliran air bersih, membangun musholla, sampai mendirikan SD Islam yang kini ustadz Dhiya’ juga mengajar di sana setiap hari.

Kegiatan rutin di pondok ustadz Dhiya’ salah satunya berupa Taman Pendidikan Al Qur’an. Mulai dari hari Senin-Jum’at diisi dengan kegiatan latihan membaca Al-Qur’an metode Ummi, latihan MC, Latihan memimpin tahlil, dzikir jama’i, latihan menjadi imam, rotibul hadad dan tahlil. Itu semua dilakukan karena ustadz Dhiya’ prihatin, sedikit sekali orang dewasa yang bersedia menjadi imam dan mimpin tahlil.

Ustadz Dhiya’ sendiri menggunakan metode ummi dalam pembinaan baca Al-Qur’an. Beliau menjadi ketua Ummatan atau Ummi kecamatan, yang wilayahnya meliputi kecamatan Kalipare, Pagak, dan Donomulyo, serta kecamatan Wates yang masuk wilayah Blitar. Beliau juga aktif di Yayasan Persyadha Al Haromain sebagai Ketua Far’i Malang Selatan. Beliau sering berkoordinasi dengan ustadz Agus Musthofa di Kepanjen sebagai sekretaris Far’i-nya.

Untuk santri mukim, selama ini ustadz Dhiya’ masih mendapatkan santri-santri mukim yang sifatnya periodik. Beberapa dari mereka hanya mondok satu atau dua bulan untuk menyelesaikan materi yang spesifik semisal Kaifatusholli, Tahsin Qur’an, persiapan tes mondok di pujon, dan lain-lain.

Sementara untuk dakwah di warga, ustadz Dhiya’ mengadakan rutinan Dzikir Jama’i seminggu sekali keliling ke rumah warga. Kegiatan tersebut dilakukan setiap selasa malam sekaligus taklim tematik. Selain itu, beliau juga mengisi dzikir hasbanah lathifiyah sekaligus taklim ke beberapa warga.

Ustadz Dhiya’ aktif dalam kegiatan sosial kemasyarakatan. Beliau mengadakan sembelih qurban bersama, kerja bakti bersama warga, dan berbagai kegiatan lainnya. Hal tersebut beliau lakukan agar dapat membaur dan melebur bersama warga desa yang memiliki semangat gotong royong.

Qadarullah, setelah bertahun-tahun bertugas di wilayah tersebut, ada beberapa warga yang menawari beliau tanah dengan harga murah. Tanah seluas 1.400 meter persegi pun terbeli untuk perluasan dakwah beliau. Kini sebagian dari tanah tersebut telah ditanami 50 bibit pisang oleh Lazis Al Haromain yang nantinya untuk keperluan dakwah ustadz Dhiya’ juga.

Dari pengalaman dakwah beliau, ustadz Dhiya’ berpesan, “Saat kita berdakwah itu, alangkah baiknya diniatkan untuk menjadi kepanjangan tangan dari dakwah guru. Bukan untuk membesarkan diri sendiri. Hal agar apa yang kita lakukan menjadi berkah dan diridhoi oleh Sang Guru, serta dapat mempermudah langkah kita dalam berdakwah.”

Dari ustadz Dhiya’ kita  belajar bahwa besarnya rintangan tidak dapat dijadikan alasan untuk menyerah. Semangat untuk khidmah itu akan tetap ada, jika selalu kita asah dengan Al-Fatihah dan do’a untuk guru-guru kita.

Sumber : Majalah Al Haromain

Bagikan Berita: