Ustadz Sadenur Zain merupakan Da’i Persyada al Haromain yang ditugaskan untuk menghidup-hidupi dakwah di Masjid Ar Rabithah, Tambak Wedi Lebar, Surabaya. Masjid yang berlokasi di dekat Jembatan Suramadu (Surabaya-Madura) ini terlihat megah dan ramai meskipun berdiri di depan pemakaman umum.

Berawal dari belajar ilmu-ilmu agama dasar di Madrasah Miftahul Ulum, Kedawan, Pasuruan, ustadz Sadenur melanjutkan belajar agama di Ponpes Sidogiri, Pasuruan. Kemudian, beliau meneruskan pengembaraan keilmuannya ke Ploso, Kediri dan Ponpes As Syadili, Pakis, Malang. Tahun 2009 beliau memantapkan ilmu agama dan belajar dakwah di Ma’had Nurul Haromain, Pujon, Malang. Beliau mondok di Pujon selama 7 tahun.

Pada tahun 2016, beliau ditugaskan untuk berdakwah di Bengkulu. Selama satu tahun beliau bersama istri khidmah di Bengkulu. Pada tahun 2017 Abi Ihya’ meminta beliau pulang dari Bengkulu dan menugaskan beliau untuk berdakwah di Surabaya, lebih tepatnya di Tambak Wedi Lebar, dekat Jembatan Suramadu.

Tanah tersebut merupakan wakaf dari sahabat karib Abi Ihya’ di Surabaya, yaitu K.H. Muhyiddin Nur. Di tanah tersebut hendak didirikan sebuah Masjid yang bernama Masjid Ar Rabithah. Ar Rabitha artinya ikatan persaudaraan atau hubungan kuat, sesuai dengan eratnya ikatan persaudaraan antara Abi Ihya’ dan K.H. Muhyiddin Nur.

Nadhir dari Masjid tersebut adalah Abi Ihya’ sendiri sedangkan takmirnya adalah Abah Ony dan Ustadz Hakam, mulazim atau santri khidmah Abi Ihya’. Sedangkan ustadz Sadenur bertindak sebagai pengkhidmah, guru ngaji, dan da’i di masjid tersebut.

Rintangan yang dihadapi oleh ustadz Sadenur cukup berliku dan menarik. Bahkan di awal pendirian Masjid, saat para Jama’ah Usrottud Dakwah atau santri-santri awal Abi Ihya’ di Surabaya ingin bekerja bakti membersihkan tanah untuk pondasi, ada beberapa warga yang sempat reaktif dan marah-marah. Rupanya warga tersebut tidak biasa dengan keramaian dan sempat dikira akan tawuran. Namun setelah warga tersebut tahu akan diadakan kerja bakti untuk membangun masjid, malah mereka ikut membantu dengan giat dan khidmat.

Memang awalnya, lingkungan tersebut termasuk lingkungan yang sepi karena menghadap tempat pemakaman umum. Selain itu, lokasinya juga agak masuk ke dalam, jauh dari jalan raya. Pada bulan Mei 2017, bertepatan dengan bulan Ramadhan, ustadz Sadenur dikirim ke wilayah tersebut. Beliau melanjutkan pembangunan Masjid yang masih satu lantai sedangkan rencana pembangunannya dua lantai. Masjid tersebut pada bulan Muharrom juga menjadi lokasi Dzikir Jama’i Nasional atau DJN.

Resep ustadz Sadenur dalam berdakwah pada Masjid yang terletak di ujung Jawa tersebut adalah lima hal; sosialisasi, komunikasi, silaturahmi, sinergi, dan TPQ. Ustadz Sadenur tidak ragu untuk bersosialisasi, berkomunikasi dan bersilaturahmi dengan warga sekitar, bahkan darinya beliau mendapat banyak sahabat seperti Pak Mudin, Pak Junaidi, Mas Harun dan sebagainya. Merekalah orang-orang terdekat ustadz Sadenur yang seringkali membantu dalam dakwah.

Terkait TPQ pun ustadz Sadenur tidak ragu untuk mendirikan TPQ di Masjid Ar Rabithah, saat sudah banyak TPQ yang sudah berdiri di dekat sana. Dari pertemuan tokoh masyarakat sekitar, didapatkan informasi bahwa ternyata tidak semua anak mengikuti ngaji di TPQ yang sudah ada. Masih ada anak-anak yang tidak mengaji. Ustadz Sadenur berfokus pada anak-anak yang tidak mengaji tersebut. Beliau mendekati orang tuanya dan diajak untuk mengaji di Masjid.

Awal beliau dakwah di sana, beliau membutuhkan adaptasi dengan warga. Beberapa dzikir dan amaliyah memang ada yang berbeda dengan warga sekitar. Beberapa jama’ah juga banyak yang bertanya-tanya. Namun ustadz Sadenur menilai hal tersebut merupakan perbedaan yang wajar.

Beliau bertemu dengan kawan-kawan alumni di pondok-pondok yang beliau pernah belajar di sana, seperti Miftahul Ulum, Sidogiri, dan Ploso. Mereka bertukar cerita. Ternyata kawan-kawannya juga mengalami hal yang sama. Ustadz Sadenur menyadari bahwa beliau memang tidak sendirian. Memang, dakwah di masyarakat umum berbeda dengan cara dakwah di pondok; harus lebih sabar, telaten, sedikit demi sedikit, dan yang penting berkelanjutan.

Beberapa tahun berlalu, ustadz Sadenur sering mengajak rekan-rekan beliau sesama ustadz untuk mengisi kajian-kajian di Masjid Ar Rabithah. Jama’ah beliau pun mulai tercerdaskan dengan penjelasan berbagai ustadz dari banyak latar belakang Pondok Pesantren terutama dari para alumni Ponpes Nurul Haromain, Pujon.

Perlahan, masyarakat di sekitar wilayah beliau juga mengenal siapa itu Abina K.H. Muhammad Ihya’ Ulumiddin dan visi dakwah Masjid Ar Rabithah, yakni membangun peradaban dari Masjid. Membina umat secara perlahan membuat ustadz Sadenur lebih merasakan berkahnya guru dan para Jamaah Al Haromain yang turut membantu. Perlahan, Allah ta’ala menata dan membuka potensi Masjid Ar Rabithah menjadi tempat yang manfaat dan berkah.

“Maklum mendapati tantangan, cemoohan, umpatan, sudah biasa. Tiap da’i tantangannya diri sendiri. Yang penting kita berusaha menyampaikan dan perbanyak berkomunikasi dengan masyarakat, karena sebenarnya mereka itu baik tapi hanya belum mengenal kita,” ujar ustadz Sadenur.

“Tidak bisa dipungkiri juga, diri ini setelah mondok di Pujon, yang awalnya isinan (pemalu) jadi kendel (berani),” ujar ustadz Sedenur.

Alhamdulillah, setelah selesai pembangunan lantai 2, pengurus masjid Ar Rabithah membeli tanah di samping Masjid. Tanah tersebut akan digunakan untuk perluasan Masjid dan pembangunan pondok pesantren. Di pondok yang rencananya berdiri tiga lantai tersebut, akan dibangun rumah tinggal bagi ustadz atau da’i, kamar santri, serta ruang singgah bagi para dai, ustadz, atau tamu yang datang dari jauh dan ingin menginap. Mohon doa dan dukungan Anda!

Semoga Allah ta’ala senantiasa memudahkan dan memberkahi segala urusan kita.

Sumber : Majalah Al Haromain

Bagikan Berita: